Senin, 05 Januari 2015

Anakku, Ibu Ingin Jumpa

Oleh: Abi Khalid Al Abdillah 

Hari itu, tepat tanggal 1 di bulan pertama tahun 2015, seorang ibu berjalan sempoyongan di sebuah gang kecil di antara bangunan-bangunan liar. Sesekali langkahnya terhenti setiap satu atau dua menit guna mengumpulkan tenaganya agar dapat melanjutkan perjalanannya. Ia tetap bertekad untuk menuju stasiun kereta yang memang tak begitu jauh dari sebuah gubuk reot yang biasa ia tempati. "Aku harus menemui anakku." kata ibu yang bernama Khadijah tersebut. Dan tanpa membawa bekal apapun, Khadijah tetap berjalan perlahan sambil mengenggam sepucuk surat dari anaknya, sebuah surat yang sudah lama ia simpan.

Lima belas menit kemudian, Khadijah sudah sampai di pintu gerbang sebuah stasiun kereta. Namun, ia tetap berdiri mematung dan sesekali kedua matanya memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Akhirnya, datanglah seorang satpam berbadan kekar menghampirinya. Satpam itu bertanya, "Permisi Ibu, ada yang bisa kami bantu?"

"Tolong antarkan saya ke alamat yang tertulis dalam surat ini nak, Insya Allah nanti ongkosnya akan diganti oleh anak saya." jawab Khadijah sembari menyodorkan sepucuk surat yang tampak kusut.

Diterimalah surat itu oleh satpam, dahinya perlahan mengerut ketika membaca surat tersebut. Tak lama kemudian ia berucap, "Maaf Ibu, alamatnya terlalu jauh. Ibu harus naik kereta untuk sampai di Jakarta."

"Saya harus bertemu dengan anak saya, sudah 5 tahun kami tak bertemu." ucap Khadijah tampak sedih.

Si satpam yang mulai kebingungan segera memeriksa surat tersebut kembali, dan akhirnya kedua mata si satpam menemukan titik terang. Ia langsung mengambil handphone yang ada di sakunya, ia pencet tombol sesuai angka yang tercantum pada surat tersebut. "Alhamdulillah, nomornya masih aktif Bu." ucap si satpam sembari melemparkan senyuman ke arah Khadijah.

Tak lama kemudian, tampak si satpam menjawab sebuah salam yang menandakan bahwa panggilan itu terjawab. Handphone pun segera diberikan kepada Khadijah, dan dengan suara yang bergetar Khadijah berkata, "Assalamu'alaikum... nak, benar ini anakku Rahmat? Ini Ibu nak... Ibu kangen. Kangen sekali nak. Di Malang, Ibu sudah tak memiliki siapa-siapa. Ibu sangat rindu kumpul denganmu nak."

"Wa'alaikumsalam Bu, saya Rahmat Bu, anak Ibu. Ibu yang sabar ya, insya Allah bulan depan saya bersama istri dan anak-anak akan segera mengunjungi Ibu di Malang." jawab Rahmat.

"Nggak nak, biarkan Ibu saja yang ke Jakarta. Ibu sudah tak tahan ingin ketemu cucu-cucu Ibu. Ibu sudah tak kuasa memendam rindu ingin berjumpa denganmu nak. Hari ini Ibu harus ke Jakarta."

"Baiklah Ibu, sekarang handphonenya tolong berikan sama bapak yang tadi, biar saya bicara sebentar ya Bu." pinta Rahmat.

Handphone itu pun segera disodorkan kepada satpam yang masih di samping Khadijah. Dan langsung saja si satpam menyahuti, "Iya, ada yang bisa kami bantu Pak?"

"Sebelumnya saya mohon maaf Pak, bisakah Bapak pesankan tiket buat Ibu saya untuk tujuan Jakarta. Untuk ongkosnya nanti langsung saya ganti setelah Bapak kirim nomor rekening ke nomor handphone saya ini Pak." jawab Rahmat.

"Oh, tentu saja Pak. Kebetulan kereta tujuan Jakarta akan berangkat setengah jam lagi. Baiklah Pak, kalau begitu langsung kami uruskan tiket buat Ibunya Bapak." kata si satpam.

"Alhamdulillah. Oh ya Pak, kira-kira besok sampai stasiun Gambir pukul berapa?" tanya Rahmat.

"Antara pukul delapan pagi Pak." jawab si satpam.

###

Setelah terjadi obrolan dan kesepakatan antara Rahmat dan si satpam, maka si satpam pun segera mengurus tiket kereta tujuan Jakarta untuk Ibu Khadijah.

"Silahkan duduk di sini Bu, Ibu jangan ke mana-mana, besok pagi Ibu sudah sampai di Jakarta dan akan dijemput oleh anak Ibu." kata si satpam sembari menuntun Ibu Khadijah untuk duduk di sebuah bangku di dalam kereta.

"Alhamdulillah, terimakasih nak atas segala bantuannya. Semoga Allah membalas kebaikanmu nak." kata Khadijah.

"Aamiin."

Si satpam segera meninggalkan Khadijah dan ia kembali ke postnya untuk bertugas kembali. Wajah Khadijah tampak berseri-seri. Ia akan bertemu dengan anak dan cucu-cucunya, ia akan bertemu dengan istri dari anaknya, ia akan tinggal di rumah mewah milik anaknya, dan ia akan menjejakkan kakinya pertama kali di kota metropolitan, Jakarta. Di dalam kereta ia tak bisa tidur, bibirnya terus bergerak-gerak mengumandangkan do'a-do'a dan dzikir, sebuah perwujudan syukur dan harapan yang ia nantikan segera menjadi kenyataan.

###

Tepat pukul delapan lebih lima belas menit, kereta melaju sangat perlahan menandakan bahwa ia segera sampai di tempat pemberhentian. Kepala Khadijah tak henti-hentinya bergeleng ke kanan dan ke kiri sembari melihat ke arah luar jendela. Dan setelah kereta terhenti sepenuhnya, ia tetap duduk di bangku sembari melihat-lihat ke arah luar jendela. Akhirnya, dari luar jendela tampak seorang berpakaian rapi melambaikan tangannya memberikan isyarat kepada Khadijah. Khadijah tersenyum gembira dan segera turun dari kereta. Sebuah rasa kangen yang tak terbendung, Rahmat segera memeluk Ibunya dengan erat seketika itu juga. Tangisan sang Ibu membasahi baju anaknya. Bibir Khadijah tak lepas dari kata-kata syukur, "Alhamdulillah.... Alhamdulillah... Alhamdulillah."

"Ibu, mari Ibu." tangan Rahmat menggandeng Ibunya. Mengajaknya untuk segera keluar dari stasiun.

Setelah sampai di sebuah depot makanan, Rahmat mempersilahkan Ibunya untuk duduk. Rahmat mengambilkan beberapa makanan dan memberinya minuman. Mereka mengobrol dengan penuh senyuman, sesekali sembari menyantap sajian makanan ringan di hadapan mereka. Tiba-tiba handphone Rahmat berdering, tapi ia tak mengangkatnya. Lantas Khadijah bertanya, "Siapa nak? Kenapa tak di angkat?"

"Oh. ini teman kantor Bu. Oh ya Bu, Ibu tunggu di sini sejenak, saya ada sedikit urusan di sebelah. Tak jauh dari sini. Jika dalam waktu dua jam saya tak kembali, Ibu minta tolong saja sama penjaga depot ini untuk mengantarkan Ibu ke alamat yang ada di kertas ini." kata Rahmat sembari memberikan secarik kertas kepada Ibunya.

"Baiklah nak, Ibu akan tunggu. Hati-hati di jalan ya nak." jawab Khadijah.

Rahmat pun segera pergi meninggalkan Ibunya.

###

Dua jam sudah terlewati, tapi Rahmat juga belum kembali. Tapi tak ada wajah kelelahan dari Khadijah, ia tetap semangat, ia tetap gembira karena sebentar lagi akan bertemu dengan cucu-cucunya.

Akhirnya, setelah waktu yang ditentukan telah berlalu, Khadijah pun tertidur. Ia tertidur dengan posisi terduduk di sebuah bangku dengan kedua tangan masih memegang sebuah kertas yang diberikan anaknya tadi.

"Ibu... Ibu... Maaf, Ibu... bangun Bu."

"Rahmat...." ucap Khadijah terkaget karena terbangun dari tidurnya setelah ada yang membangunkannya.

"Bukan Bu, saya karyawan di depot ini. Maaf Ibu, depot ini segera tutup karena sudah jam sembilan malam." jawab orang yang membangunkannya yang ternyata adalah seorang karyawan.

"Astaghfirullah, maaf nak. Saya tertidur hingga tak tahu waktu. Tapi ijinkan saya sepuluh menit lagi untuk duduk di sini ya nak, karena saya sedang menunggu seseorang." pinta Khadijah.

"Maaf Ibu, dari jam setengah sembilan pagi tadi saya perhatikan Ibu tetap duduk di sini. Memangnya Ibu sedang menunggu siapa?" tanya si karyawan.

"Saya sedang menunggu anak saya. Tadi dia pergi sejenak dan akan kembali lagi. Tapi sudah jam segini kok anak saya belum kembali ke sini. Saya khawatir jika terjadi apa-apa terhadap anak saya."

"Hmmm, alamat anak Ibu di mana? Atau mungkin ada nomor yang bisa saya hubungi Bu?"

"Oh iya, tadi anak saya ngasih kertas ini. Anak saya tadi berpesan, agar memberikan kertas ini kepada karyawan depot ini agar ia bisa mengantarkan ke alamat yang tertulis di kertas ini jika anak saya tak kembali." kata Khadijah sembari memandang kertas tersebut.

"Boleh saya lihat Bu kertasnya." pinta si karyawan.

Khadijah segera memberikan kertas tersebut ke karyawan depot yang masih sangat muda itu. Betapa kagetnya si karyawan ketika membaca apa yang tertulis pada selembar kertas tersebut. Dalam kertas tersebut ternyata tidak tertulis petunjuk alamat maupun nomor dari anaknya, di kertas itu tertulis, "ASSALAMU'ALAIKUM, TOLONG RAWATLAH IBU INI. JIKA TAK BERKENAN, ANTARLAH IBU INI KE PANTI JOMPO. SAYA MENINGGALKAN UANG SENILAI DUA PULUH JUTA DALAM TAS DI ATAS MEJA UNTUK BIAYA PERAWATAN IBU INI. TERIMAKASIH."
============================

Karya ini terinspirasi dari sebuah vidio yang mampu membuat kedua mataku berkaca-kaca. Kalian bisa melihat vidio ini di https://www.youtube.com/watch?v=fwMeT7hYOyo

Selain itu, kalian juga bisa mengembangkan, share, edit, atau meneruskan karya saya ini meski tanpa mencantumkan nama saya. Semoga ada hikmahnya....
Dan pesan saya, sayangi orangtuamu, terlebih ibu yang telah mengorbankan nyawa demi anaknya. Harta sebanyak buih di lautan tak akan mampu menyandingi jerih payah dan jasa-jasa ibu kita.

Lumajang, 6 Januari 2015 (01.33 PM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar